Bank Anak Jalanan





Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 45) pasal 34 menyebutkan bahwa, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Pada praktiknya, hal ini tidaklah sejalan dengan apa yang dikatakan undang-undang tersebut. Anak terlantar (dalam hal ini anak jalanan) masih banyak kita jumpai di perempatan, bahkan di bus-bus kota. Kegiatan mereka umumnya adalah mengamen. Tak jarang dari mereka yang mengemis langsung dari mobil ke mobil.

Menurut Departemen  Sosial, anak jalanan didefinisikan anak usia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum. Kondisi perekonomian keluarga yang minim disinyalir menjadi alasan utama para anak-anak dibiarkan hidup di jalan.

Departemen Sosial menambahkan, sebelum masa krisis tahun 1997, diperkirakan ada 50.000 anak jalanan di Indonesia, termasuk di Kota Bandung. Pasca masa krisis, jumlah tersebut terus meningkat tajam, namun sulit mendapatkan angka yang pasti, karena mobilitas anak jalanan yang sangat tinggi dan kecenderungan memilih untuk menghindar saat proses pendataan.

The History of the Jewish Community in Indonesia


It was more than a half century, Shoshana Lehrer left Indonesia. But, she still remember on the country which thousand kilometers away from her current home in the suburb of Haifa, Israel.

She and her family lived in Indonesia as refugee after fleeing from Nazi in Austria in 1938. “Although we had very hard times, I loved to live there. Indonesia is a beautiful place. I really felt like it is my own country,” said the 77 year-old woman to the Jerusalem Post in December last year.

It’s not only Lehrer felt the atmosphere of Indonesia. There are at least 50 Jews in Israel who had such experience. To share their each memories on Indonesia, the established an association called the Tempo Dulu in 1995. It has the youngest member who is 65 year-old.

According to Lehrer, they gather at least once or twice a year. Besides sharing their own stories, they also cooked Indonesian food, like rendang and nasi rawon. Many members of the Tempo Dulu headed by Lehrer can spell a few words in Bahasa Indonesia.

Lehrer and her colleagues has become historical witnesses and evidence of the existence of the Jewish community in Indonesia. Proffessor Rotem Kowner from the University of Haifa, Israel, explained that the first Jews arrived in Indonesia was a merchant from Fustat, Egypt. “He died in the port of Barus, northern Sumatera in 1290,” he said. Kowner has researched about the history of the Jewish community in Indonesia since 2003.

He even convinced that the Jews has converted to Christian took part in the Portuguese mission which arrived in Indonesia in the early sixteenth century. They settled around the Strait of Malacca, northern coast of Sumatera, dan Java.

The Jews continues expanded as well as the arrival of two Ducth companies the Dutch East India Company (VOC) dan the Dutch West Indian Company (WIC) in 1602. One of them a Dutch soldier born in Ukraine, Leendert Miero (1755-1834) who arrived in 1775. He was the wealthy owner of a large state in Pondok Gede (currently the border area between East Jakarta and Bekasi).

And then Jacob Saphir (1822-1886) traveled for seven weeks on his way to Australia in 1861. The Romanian descent Jews reported there were about a number of Jews who lived in Batavia, Surabaya, and Semarang. But, he noted that there was no the signal of the Jewish communal at that time.

Saphir also noted that at least 20 Jewish households lived in Batavia who were form Netherland and Germany. They comprised wealthy merchants, government officials, and soldiers in the service of the colonial regime. They had no synagogue and no cemetery.

In 1921, a Zionist fundraiser, Israel Cohen, arrived in Java in his five-day visit. He predicted at that time there were around 2,000 Jews who lived in Java only.

The Jewish community began emerge in 1920s with the establishment of Association for Jewish Interests in the Dutch East Indies dan the World Zionist Conferemce (WZC) that had branches in Batavia, Bandung, Malang, Medan, Padang, Semarang, and Yogyakarta. WZC which based in London was founded in 1920. It was a fundraising for the Zionist movement.  A monthly magazine called Erets Israel was issued in Padang from 1926 until its closure by the Japanese in 1942.

The Ducth East Indies administration conducted official census in 1930 that reported the presence of 1.095 Jews. The majority of Jews lived in Java (more than 85 per cent), Sumatera (11 per cent), and several islands (less than 4 per cent). On the eve of the Pacific War (1941-1945), the number of Jews Indonesia reached the biggest number around 3,000 people.

The Jews who lived in Indonesia comprised three groups. The first and the majority was Ducth Jews. Many of them were employed by the colonial administration as clerks, soldiers, teachers, and medical doctors. A second group was of so-called Baghdadi origin which meant they were from Iraq, Yemen, and other parts of the Middle East. Mostly lived in Surabaya and had export and import businesses, shopkeepers, peddlers, and artisans. The third group was refugees from Nazi persecution, largely from Germany, Austria, and Eastern Europe.

The Baghdadi Jews live in religious, some of them fully orthodox. Meanwhile Dutch Jews tend to assimilate although they kept the Jewish traditions. More than a few hide their Jews identity and some men married Christian Europeans or native women.

Economically speaking, the Jews in Indonesia lived in prosperous. They employed native maids, cooks, and chauffeurs. Their per capita income was 4,017 guilders, higher than a native Indonesian was 78 guilders. “We had a sports car,” said Dr Eli Dwek who had lived in Surabaya when he was a kid.

After the independence of Indonesia, the number of Jews decreased. According to a report by the World Jewish Congress was issued a few days after the expulsion of the Ducth, there were approximately 450 Jews in November 1957. Six years later their numbers became 50 and currently only about 20 Jews.

But, at the present, the Jewish community reemerging  by the establishment of a giant menorah in Manado and two synagogues in Manado and Tondano. This group led by Rabbi Yaakov Baruch. “We’re just trying to be good Jews,” he said.

The menorah is also the symbol of Mossad.

Perayaan Hannuka di Bandung 1935
Upacara Bar Mitzvah di Surabaya 1930

Lintah Demokrasi

Dalam demokrasi lintah darat, hanya ada dua profesi; Pertama menjadi seorang koruptor, Kedua menjadi seorang motivator.
Koruptor adalah sebutan bagi orang yang melakukan tindak korupsi. Korupsi berasal dari bahasa latin  corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menghisap dan menggoyahkan. Sedangkan motivator adalah orang yang memilki profesi sebagai penyemangat hidup orang lain, orang yang memberikan stimulus sebagai penggerak orang lain melakukan sesuatu hal.


Coming of Age






It was born
thirty-five years ago
from the pains
of the most progressive class
a child of an era
that will gave birth to an era

braving tempests
lulled not by the breeze
it penetrated into the people's heart
deeper than the sea of Banda
adorning life
more beautiful than the chempaka blossom

It lives from life
withstanding terror and provocation
yesterday, today, tomorrow
it is Anteaeus, son of Poseidon
invincible as long as it stays faithful to the earth
child of an era that will give birth to an era
now it has come of age

~D.N. Aidit

Tuan dan Puan


I

Sejenak Tuan berfikir mengenai konsep Puan;

Ketika Tuan mendekati Puan yang cantik
Tetapi tidak bisa mendapatkannya
Apakah Tuan yang terlalu jelek?

Ketika Tuan mendekati Puan yang lucu
Tetapi tidak bisa mendapatkannya
Apakah Tuan yang terlalu jayus?

Ketika Tuan mendekati Puan yang putih
Tetapi tidak bisa mendapatkannya
Apakah Tuan yang terlalu hitam?

Ketika Tuan mendekati Puan yang cerdas
Tetapi tidak bisa mendapatkanya
Apakah Tuan yang terlalu bodoh?

Buitenzorg Rhapsody



Sebuah karya dariku untuk orang – orang yang membaca buku ini pada tahunnya nanti sudah tahun 2675 Setelah Masehi dan aku adalah manusia purba pada saatnya nanti kalian ada, yaitu yang aku sebut kalian adalah orang – orang yang membaca buku ini pada tahunnya nanti sudah tahun 2675 Setelah Masehi” .
(Buitenzorg Rhapsody 0 : 1)



Buitenzorg adalah nama untuk kota Bogor pada masa kolonial Belanda, yang berarti daerah yang berbukit dan aman tenteram,  sedangkan Rhapsody merupakan sanjungan berlebih terhadap suatu hal dalam komposisi instrumental  yang tertuang bisa dalam lagu, puisi epik, bahkan cerita pendek.

Buitenzorg Rhapsody merupakan kidung tentang kota Bogor yang dituangkan dalam kumpulan cerita pendek bergaya kitab yang ditulis oleh Dzkri Robbi semasa kuliah di IPB.
Terdapat 21 cerita pendek yang saling berkaitan dalam buku ini. Diawali dari cerita mengenai saluran pembuangan (Comberan) mengenai siklus air yang membentuk hujan, dan juga yang membentuk rasa malas ketika hujan turun, lalu obrolan dengan teman-teman semasa kuliah, sehingga membentuk sebuah nilai-nilai filosofis sampai pada akhir cerita yang diakhiri dengan cerita Penutup.

Sejenak kita akan tidak menyangka bahwa ini adalah buku cerita bergenre komedi. Berbeda dari penulis cerita komedi lainnya, Dzikri Robbi  menuliskan semua ceritanya dengan beberapa quote untuk menyampaikan pesan kepada pembacanya. Pesan yang menarik dan menggelitik pada buku ini terutama untuk manusia yang hidup pada tahun 2775 M.  Seolah kita dibawa untuk merenungi, mengkritisi dan mensyukuri apa yang terjadi pada tahun 2012  dan pada tahun-tahun sebelumnya.

Selaku penulis, Dzikri Robbi berhasil membuat kita tertawa dengan cara religius. Tiap-tiap cerita dalam buku ini memberikan pemahaman esensi hidup. Sangat berbeda dengan cerita komedi remaja lainnya yang hanya menonjolkan unsur guyonan yang picisan.

Tentunya buku ini sangat cocok untuk dibaca semua kalangan, terutama remaja  dalam masa peralihan. Karena amanat yang terdapat dalam buku ini sangat menyentuh, memberikan suatu pandangan yang baru akan hidup dalam konteks religiusitas yang tidak  menggurui. Dzikri Robbi memberikan angin segar dalam gaya penulisannya.  Pada cerita Raja, terdapat keinginan dan harapan dari sang penulis agar bukunya menjadi best seller, ketika ia memanjatkan doa kepada sang Khalik, namun ketika  doa tersebut dibalas dengan Raja, ternyata justru membuat kita terenyuh bahwa bukan best seller lah yang menjadikan tolak ukur suatu buku sukses atau tidak, melainkan manfaat yang didapat setelah menulis buku tersebut.



Bangsal Kelas Kambing

Ilustrasi
Bulan kemarin, Adik saya mengalami peradangan di ususnya, orang banyak menyebutnya dengan penyakit usus buntu. Ia mengeluhkan sakit yang luar biasa, disertai dengan muntah-muntah, dan nyeri di sekujur perutnya. Lantas kedua orang tua Saya lekas membawanya ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut. Pihak dokter menyarankan agar segera dioperasi, karena peradangan pada usus kecil dalam perutnya sudah cukup parah, kalau tidak segera dioperasi maka akan menyebar dan menyerang usus besar dan jauh lebih bahaya.
Akhirnya demi kesembuhan sang Adik, maka orang tua  pun setuju dengan saran dokter tersebut, sehingga ia dirawatinapkan di salah satu rumah sakit yang mungkin bisa dikatakan langganan keluarga kami. Dari nenek, sepupu, bahkan saya sendiri pernah dirawat di rumah sakit tersebut. Ini kali pertama Adik saya sampai dirawat di rumah sakit, mudah-mudahan juga ini yang terakhir bagi keluarga kami. Karena sesungguhnya dirawat itu bukanlah sesuatu hal yang enak, melainkan enek, meski ditempatkan di ruangan VIP.