Bangsal Kelas Kambing

Ilustrasi
Bulan kemarin, Adik saya mengalami peradangan di ususnya, orang banyak menyebutnya dengan penyakit usus buntu. Ia mengeluhkan sakit yang luar biasa, disertai dengan muntah-muntah, dan nyeri di sekujur perutnya. Lantas kedua orang tua Saya lekas membawanya ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut. Pihak dokter menyarankan agar segera dioperasi, karena peradangan pada usus kecil dalam perutnya sudah cukup parah, kalau tidak segera dioperasi maka akan menyebar dan menyerang usus besar dan jauh lebih bahaya.
Akhirnya demi kesembuhan sang Adik, maka orang tua  pun setuju dengan saran dokter tersebut, sehingga ia dirawatinapkan di salah satu rumah sakit yang mungkin bisa dikatakan langganan keluarga kami. Dari nenek, sepupu, bahkan saya sendiri pernah dirawat di rumah sakit tersebut. Ini kali pertama Adik saya sampai dirawat di rumah sakit, mudah-mudahan juga ini yang terakhir bagi keluarga kami. Karena sesungguhnya dirawat itu bukanlah sesuatu hal yang enak, melainkan enek, meski ditempatkan di ruangan VIP.


Adik saya ditempatkan di bangsal kelas kambing, terdapat enam tempat tidur, tiga saling berhadap-hadapan, dengan satu TV tabung dan penyejuk ruangan yang cukup membuat menggigil pada malam hari. Sedikit lebih mending ketimbang bangsal yang Saya tempati sewaktu saya mengidap typhus beberapa tahun lalu yang penyejuk ruangannya berfungsi di saat-saat tertentu. Jadi, kalau siang dengan kreatif menggunakan kibasan lipatan koran sebagai penyejuk utama.
Tetapi di bangsal kelas kambing inilah banyak terjadi interaksi antara sesama penjaga dan penjenguk pasien. Karena kondisi tempat tidur yang saling berdekatan dan hanya dipisahkan oleh tirai-tirai yang tidak sepenuhnya berfungsi sebagai sekat antara satu tempat tidur dengan tempat tidur lain.

Pada hari pertama dirawat dan ditempatkan pada bangsal kelas kambing, beberapa pasien yang sudah lebih dulu dirawat dan juga beberapa penjaga pasien tersebut sumringah menyambut Adik saya. Menanyakan perihal sakitnya, dan tindakan apa yang akan dilakukan oleh pihak dokter.
Lalu memberikan dukungan mental kepada Adik saya. Begitu juga Adik dan Ibu saya kepada mereka. Kita saling mendukung agar lekas sehat dan sesegera mungkin meninggalkan rumah sakit.
Pada malam pertama, hanya Ibu  yang menjaga Adik, saya yang kebetulan baru pulang dari Jatinangor hanya datang menjenguk sore harinya. Baru pada malam kedua sampai malam terakhir saya menemani Ibu menjaga adik. Ini kali pertama Saya menjaga orang sakit di rumah sakit, karena memang berniat untuk bermalam, saya berinisiatif membawa karpet tebal dan beberapa selimut dari rumah.
Beruntung Adik saya dapat tempat tidur di sebelah pojok dekat jendela, karena kalau dapat di antara dua tempat tidur pasien lain(di tengah) pastinya cukup merasa terganggu dengan hiruk pikuk para penjenguk. Apalagi dengan konsep tirai yang hanya menutup sepertiga bagian dari tiap-tiap tempat tidur, bahkan ketika saya menggelar karpet di bawah samping tempat tidur, saya dapat melihat penjaga pasien sebelah yang juga sedang melakukan hal yang sama.

Hari terus berjalan, Alhamdulillah operasi adik saya berjalan dengan lancar, tinggal proses pemulihan, dan menunggu kentut agar bisa makan dan minum secara normal.
Ibu saya non-stop menjaga adik, pagi-siang-malam. Karakter beliau memang seperti itu jika anaknya sakit, pastinya ia kekurangan tidur, karena terlalu siaga menjaga buah hatinya. Saya sudah menegurnya untuk beristirahat di rumah selama seharian penuh, bergantian dengan Saya dan Ayah yang berjaga, tetapi beliau menolaknya. Bahkan  nasihat dari Ayah  pun diabaikannya. Begitulah kira-kira kasih sayang Ibu  terhadap kedua buah hatinya.


***

Di  salah satu lorong rumah sakit yang di kedua sisinya terdapat taman, dan juga sebagai tempat merokok bagi para penjaga pasien di malam hari, Saya  dan Ayah duduk di antara beberapa penjaga yang sedang santai sembari menghisap rokoknya. Berusaha membuka obrolan, Ayah menyapa salah satu di antara mereka. Menanyakan siapa dan apa penyakit yang dialami oleh pasien yang mereka jaga. Ayah juga bercerita tentang sakit yang dialami Adik.
Tak lama kemudian, datang penjaga lain, yang saya sebut  Om Kacamata. Om Kacamata datang seolah kita sudah saling kenal sebelumnya, ia langsung menanyakan soal pertandingan Liga Champions yang kebetulan malam sebelumnya terdapat pertandingan yang Saya sendiri pun tidak tahu kesebelasan mana yang bertanding. Ayah menanggapinya, karena memang Ayah adalah penggila sepakbola. Perbincangan pun mengalir deras.

Selang beberapa waktu, datanglah lagi penjaga lain yang Saya sebut Bang. Bang juga seperti sudah saling akrab dengan kita, karena memang ia juga penggila sepakbola, maka obrolan pun makin deras. Dari sepakbola perbincangan berganti topik ke arah politik, lalu berganti lagi ke arah mitos, lalu berganti lagi sampai menemukan bahan-bahan yang menarik untuk diperbincangkan pada malam itu.

Om Kacamata pamit, karena harus segera menuju bangsal untuk menjaga neneknya yang sedang mengalami sakit komplikasi. Ia sendiri tidak menyebutkan komplikasi apa yang diderita neneknya.
Beberapa penjaga lain pun satu persatu kembali menjaga yang sebagian besar berada di bangsal kelas kambing, hanya ruangan saja yang berbeda. Yang tersisa di lorong hanya Saya, Ayah, dan Bang.

Suasana cukup hening beberapa saat, karena mungkin kita sudah saling bingung ingin memperbincangkan apa lagi. Untuk memecah keheningan, Ayah bertanya kepada Bang pertanyaan yang sebelumnya ditanyakan kepada beberapa penjaga sebelumnya.

Bang mengatakan bahwa ia di rumah sakit untuk menjaga istrinya yang terkena penyakit TBC Tulang. Sudah dua belas hari istrinya dirawat di ruang isolasi. Karena memang penyakit tersebut haruslah dipisahkan dari pasien lainnya.  Ini bukanlah kali pertama istrinya dirawat, kurang lebih sudah 3-4 kali. Sebelumnya dokter mendiagnosa penyakit lain, tetapi karena kondisinya semakin parah, maka setelah melakukan pengecekan selanjutnya, maka dipastikan bahwa ia mengidap TBC Tulang.

Bang dulunya bekerja sebagai supir di salah satu perusahaan minuman ternama, kini ia mengalami PHK, setelah perusahan dengan tiba-tiba memecat besar-besaran karyawan tanpa alasan yang jelas. Ia tinggal di daerah yang tidak jauh dari rumah sakit. Hasil pernikahan Bang dengan sang istri melahirkan tiga orang anak yang masih kecil. Anaknya yang paling besar baru kelas 3 SD. Yang kedua berusia 3 tahun dan si bungsu baru 1 bulan.
Untuk membiayai istrinya, ia mengandalkan asuransi dan sisa tabungan. Tetapi, Bang tetap tegar menjalani ini semua, dengan cinta yang luar biasa kepada sang istri, ia sama sekali tidak mengeluhkan tentang cobaan yang sedang dialaminya. Sementara ketiga anaknya yang masih kecil, diasuh oleh kedua orang tuanya, kadang bergantian dengan kedua orang tua istrinya.

Bang juga bercerita bagaimana masa-masa pacaran sebelum ia menikahi istrinya. Masa-masa disaat sang pacar (sekarang istrinya) mau menerima dia apa adanya. Sampai akhirnya mereka menikah dan berkomitmen untuk tidak tinggal di rumah kedua orang tua masing-masing,  sehingga mereka bisa menyisihkan uang bersama untuk membangun rumah. Meskipun masih rumah sederhana tetapi memiliki makna kebersamaan yang dibangun dari awal.  Disitulah letak perjuangan cinta yang dibangun dari pondasi awal yang kokoh.
Selagi Bang bercerita demikian, Ayah menyuruh saya untuk menyimak dan mengambil contoh pelajaran makna cinta.

Malam berikutnya, Saya dan Ayah bertemu dan berbincang lagi dengan Bang. Sore harinya, Saya sempat melihat Bang yang lagi mengajak jalan-jalan istrinya di sekitar taman di rumah sakit. Istrinya yang terlihat kurus dengan bahu sedikit terangkat, duduk di kursi roda sembari mengenakan masker. Salah satu anak mereka yang paling besar terlihat sedang berlarian mengelilingi mereka yang saat itu sedang memerhatikan salah satu bunga yang ada di taman rumah sakit.
Dari kejauhan saya memandang hal  tersebut sebagai sesuatu yang penuh kasih sayang dan cinta yang luar biasa.
Bang menoleh ke arah lain, dan mendapati saya yang sedang memerhatikannya. Ia memberikan senyuman yang hangat, Saya pun membalas dengan senyum yang dibalut haru.

Malam sebelum Adik saya pulang dari rumah sakit, Bang menegur dari lorong,  seperti mengajak Saya dan Ayah untuk menemaninya berbincang. Selama di rumah sakit, kami seperti sudah saling mengenal lebih dari setahun, kehangatan, kebersamaan dan rasa kekeluargaan antara penjaga pasien penghuni bangsal kelas kambing terasa erat. Sayangnya waktu itu, Saya dan Ayah sedang membawa beberapa perabotan rumah dari rumah sakit selama perawatan yang harus dibawa pulang,  sehingga cukup sibuk dan tidak sempat pamit dengan Bang, karena besok paginya, Adik saya sudah pulang.



No comments:

Post a Comment