Koruptor adalah sebutan bagi orang yang melakukan tindak korupsi. Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menghisap dan menggoyahkan. Sedangkan motivator adalah orang yang memilki profesi sebagai penyemangat hidup orang lain, orang yang memberikan stimulus sebagai penggerak orang lain melakukan sesuatu hal.
Demokrasi yang terjadi di Indonesia melahirkan dua bentuk pelaku seperti yang disebutkan di atas. Para koruptor lahir akibat penyalahgunaan jabatan resmi demi kepentingan pribadi. Tak jarang orang Indonesia menginginkan jabatan hanya untuk keuntungan memperkaya diri. Jiwa sebagai pemimpin seketika luruh ketika dihadapkan dengan persoalan materi. Hal ini didorong dari situasi lingkungan yang mengatakan bahwa sebagai seorang pejabat maka orang itu haruslah kaya-raya. Pola pikir inilah yang kemudian menjadikan cikal-bakal lahirnya generasi koruptor.
Demokrasi yang seharusnya menjadi tonggak utama pembangunan suatu bangsa, tiba-tiba dihisap dan disalahartikan oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan. Dijadikan lahan bisnis berkedok pesta demokrasi yang diadakan tiap lima tahun sekali.
Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa tujuan normatif negara adalah mengusahakan kemajuan untuk kepentingan semua warga negara. Negara bukan kongsi dagang yang mengusahakan keuntungan bagi kongsi itu sendiri. Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya. Praktik korupsi yang terjadi di Indonesia sebagai negara dunia ketiga, menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi, memperparah kemiskinan, dan tidak stabilnya keadaan politik. Namun demikian, keadaan ini digunakan oleh sebagian golongan sebagai komoditi peraup untung terbesar, dalam hal ini adalah orang yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Banyak negara yang menempatkan para petingginya sebagai pelaku praktik korupsi, diantaranya adalah; Ferdinand Marcos dari Filipina.
Marcos adalah presiden kesepuluh Filipina, ia terpilih sebagai presiden pada pemilu tahun 1965 dan menjabat selama dua kali masa bakti secara penuh. Namun pada masa jabatannya, ia mendirikan sistem pemerintahan yang otoriter demi menekan oposisi. Masa pemerintahannya pun diwarnai dengan gejolak politik yang carut-marut. Tingginya penyelewengan jabatan, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer untuk mempertahankan kekuasannya, menyebabkan kemiskinan, buruknya kualitas kesehatan masyarakat, dan korupsi yang merajalela.
Di Indonesia hal itu pernah terjadi semasa Orde Baru, bahkan pada Reformasi yang semu ini, kita masih merasakan hal itu. Bedanya dengan Marcos hanya pada masa saat ini, otoriter berkamuflase atas nama demokrasi. Tetap saja masyarakat mengalami kebebasan yang bersifat imajiner, pemerataan kesejahteraan yang tidak adil. Demokrasi ada hanya pada penguasa, bukan pada masyarakat, khususnya rakyat kecil.
Namun jika kita berbicara mengenai kelakuan pemerintah/petinggi negara yang sedemikian busuk atas penyelewengan jabatan dan korupsi, salahkah mereka apabila dihubungkan dengan pola pikir masyarakat terhadap kekuasaan yang masih tetap materialistis?. Masih menganggap bahwa seorang pejabat haruslah kaya raya?.
Jika kita perhatikan, permasalahan itu timbul karena mindset masyarakat itu sendiri. Maka tidak heran bila ini sudah mengakar sampai anak cucu. Dapat dikatakan bahwa kita dijajah pikiran kotor kita sendiri, pikiran-pikiran yang menjerumuskan kita terhadap apa yang kita benci dan ingin musnahkan. Lalu apakah yang mendasari permasalahan ini, apakah ini lahir dari pikiran masyarakat yang seperti itu hingga menjadikan pemerintahan yang korup, atau apakah ini lahir akibat pemerintahan yang korup sehingga menjadikan masyarakat yang korup?. Tampaknya kedua hal ini haruslah dirubah dengan sebuah gejolak (revolusi) sosial yang besar.
Memang tidak semua masyarakat berpandangan seperti yang dipaparkan di atas. Ada beberapa masyarakat lain yang menarik diri dari pemikiran seperti itu, masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemikiran tersebut cenderung apatis karena kejenuhan terhadap gejolak sosial yang selama ini dilihatnya. Tak jarang masyarakat yang jenuh ini pula yang banyak kehilangan kepercayaan dirinya, disebabkan oleh tidak adanya tujuan pada apa yang dilihatnya. Mereka menilai semua yang dilihat adalah semu, ketika keadilan dan kesejahteraan itu hanya menjadi sesuatu yang imajiner.
Jenuhnya masyarakat terhadap pemberitaan yang tak jauh dari persoalan politik--korupsi, membuat mereka melakukan eskapisme dengan berbagai cara. Salah satunya adalah mendengarkan sabda sang motivator.
Banyaknya motivator saat ini dikarenakan hausnya masyarakat akan sosok yang kharismatik, menenangkan, dan entrepreneur. Seolah kekurangan kepercayaan diri pada tiap-tiap orang untuk mengembangkan potensi dalam diri masing-masing.
Mungkin seharusnya stimulus yang baik haruslah ditimbulkan dari dalam diri individu itu sendiri. Tapi tidak untuk saat ini. Maka tidaklah heran jika kita melihat banyaknya motivator-motivator yang meraup keuntungan dari ketidakpercayaan diri orang Indonesia sekarang.
Motivator saat ini didefinisikan sebagai sang orator yang ulung. Mampu memberikan pengaruh kepada pendengar dengan tambahan informasi berdasarkan pengalaman seseorang, bahkan dirinya. Motivator dicirikan sebagai seorang yang sukses dalam bidang usahanya sendiri, kaya-raya, serta hidup bahagia dalam terminologi tertentu. Para motivator umumnya berusaha memberikan kisi-kisi pencapaian sukses menghadapi permasalahan dalam hidup. Berusaha memberikan solusi kepada banyak orang bagaimana caranya menghadapi lika-liku problema yang terjadi. Padahal, cara seseorang untuk mencapai kesuksesan berbeda-beda, tidak sama dengan seperti apa yang dikatakan oleh para motivator.
Seperti yang dijelaskan oleh Thantaway dalam kamus Bimbingan dan Konseling, bahwa percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberikan keyakinan kuat dalam dirinya untuk melakukan suatu tindakan. Dapat menstimulus dirinya sendiri. Sementara itu yang terjadi pada masyarakat kita adalah sebaliknya.
Sejenak kita teringat akan film Yes Man (2008), yang dibintangi oleh Jim Carrey dan Zooey Deschanel, dan beberapa artis besar hollywood lainnya. Ketika Carl (Jim Carrey) selalu sial dengan hidupnya dan kepercayaan terhadap dirinya berkurang, maka ia dirujuk oleh temannya untuk ikut dalam suatu perkumpulan besar dengan sang Motivator (Terence Stamp) sebagai sang orator. Setelah mendapat persuasi, stimulus, dan sugesti dari sang Motivator, maka hidup Carl merasa sedikit membaik hingga ia bertemu dengan Allison (Zooey Deschanel), tetapi tak lama kemudian ia malah mengalami kesialan yang lebih parah. Sampai pada akhirnya ia menyadari bahwa cara setiap orang menggapai kesuksesan berbeda-beda, tidak sama seperti apa yang sang Motivator katakan.
~RAR (Onegin)
Hal ini dijadikan peluang dan bisnis baru bagi para motivator, setelah mendapatkan stimulus dengan persuasi yang diberikan, masyarakat yang kurang percaya diri ini dihisap untuk bergabung dengan suatu perkumpulan besar yang diadakan oleh sang motivator. Biasanya dalam pertemuan ini, para peserta yang hadir atau ingin mendaftar dikenakan biaya. Pun kalau gratis, biasanya sering terdapat pada acara-acara televisi. Dalam hal ini tetap saja sang motivator meraup keuntungan besar.
~RAR (Onegin)
No comments:
Post a Comment