Penjajahan Antropologis
Seperti biasa, jika pulang ke rumah, pastinya saya berdiskusi mengenai apapun dengan Ayah. Baik dari persoalan akademik, sosial, bahkan konsep ke-Tuhanan. Tema obrolan kali ini adalah mengenai penjajahan antropologis yang banyak dari kita tidak menyadarinya. Perbincangan ini terasa menarik karena selain timbul akibat tayangan iklan, juga saya yang baru lulus kuliah dan mulai mendiskusikan tentang pekerjaan yang akan saya geluti nantinya.
Dan perbincangan yang juga diikuti oleh adik saya ini, rupanya dituliskan kembali oleh Ayah, berikut hasil perbincangan kami;
Saya dan anak saya tertawa terbahak-bahak ketika kali pertama menyaksikan tayangan iklan Chevron, pemilik koloni pertambangan minyak di Indonesia. Seorang model dalam iklan itu mengatakan; "Sembilan puluh lima persen (saya lupa persisnya berapa) karyawan Chevron adalah orang Indonesia."
Anak saya mengatakan; "Dulu, 90 persen pegawai VOC juga orang Indonesia. Lebih 80 persen prajurit KNIL adalah orang-orang dari berbagai suku di Indonesia. Pegawai gubernemen, gementee, dan staf residen dan asisten residen juga orang Indonesia."
Pekerja Stenkollen Matschappij Parapattan -- perusahaan tambang batubara milik Belanda di Teluk Bayur, Kabupaten Berau -- juga kebanyakan orang Indonesia. Suikerfabriek, pabrik gula, yang tersebar di sekujur Jawa juga lebih banyak mempekerjakan orang Indonesia.
Royal Dutch Company di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, Nederlansche Koloniale Petroleum Matschappij (NKPM), Stanvac, dan perusahaan minyak Belanda lainnya, juga mempekerjakan orang Indonesia.
Pertanyaannya, apa yang bisa kita tangkap dari iklan Chevron itu?
Menurut saya, itulah penjajahan antropologis. Selama sekian ratus tahun, Indonesia dijajah Belanda secara antropologis. VOC tidak perlu membawa ribuan orang Belanda ke Jawa untuk menjadi prajurit, menjalankan perusahaan dan pemerintahan, untuk melakukan penjajahan fisik.
Mereka cukup membawa segelintir administratur dan akuntan untuk menjalankan perusahaan. Di bidang militer, mereka hanya perlu membawa sedikit orang yang piawai di bidang keamanan. Pasukan tinggal dibentuk dengan membeli kesetiaan pribumi dengan gaji tinggi.
Orang Belanda tahu pribumi, karena kelamaan dimiskinkan para elite-nya, bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan hidup enak. Para jagoan di Tangerang, dan di tanah-tanah partikelir rela mengyiksa bangsanya sendiri demi hidup lebih baik dari yang lain.
Keadaan itu tidak berubah sampai saat ini. Bagi pribumi Indonesia, setelah lulus sekolah ya kerja. Kerja yang diimpikan adalah menjadi staf perusahaan asing atau pegawai negeri. Di perusahaan asing mereka berkesempatan mendapatkan gaji tinggi, menjadi pegawai negeri mereka bisa korupsi.
No comments:
Post a Comment