- Pada 9 Maret 2012 lalu, Prof Dr Widjojo Nitisastro -- arsitek ekonomi Orde Baru -- meninggal dunia. Pengagumnya melempar segala puji bagi sang 'don' Mafia Barkeley. Sekian ratus juta rakyat Indonesia yang merana akibat kegagalan konsep ekonominya; menggadaikan negara dengan cara berutang, tak tahu apa-apa. Bagi kita, mungkin penting membaca kembali tulisan Harsutejo dalam buku Kamus Kejahatan Orba - Cinta Tanahair dan Bangsa berikut ini.
Mafia ini telah mewariskan sistem ekonomi kapitalis deles kepada anak cucu, kapitalisme primitif paling jahat dalam sejarah perkembangannya. Ketika Presiden Sukarno dijatuhkan, Indonesia punya utang luar negeri sebesar 7,8 miliar dollar AS, 4 miliar di antaranya sebagai warisan utang Belanda yang menjajah Indonesia lewat perjanjian KMB yang diteken Perdana Menteri Hatta. Warisan Belanda ini sudah dari tahun 1898. Menurut Bung Hatta kita sudah sewajarnya menanggung utang-utang itu seluruhnya, artinya ongkos penindasan Belanda terhadap rakyat Indonesia itu harus dipikul oleh anak cucu kita semua sekalipun kita sudah menyatakan kemerdekaan. Akhirnya warisan utang Belanda itu dibatalkan oleh Presiden Sukarno.
Perkembangan utang luar negeri selama Orba begitu hebat atas nama pembangunan yang diarsiteki oleh Mafia Berkeley, sebutan yang diberikan oleh David Ransom. Anggota Mafia Berkeley sebagian lulusan Universitas Berkeley di California. Di samping itu banyak lulusan Berkeley yang bukan anggota mafia ini, sebaliknya ada pula lulusan dari perguruan tinggi lain menjadi anggotanya yang pernah menduduki jabatan penting. Mereka terdiri dari kaum cerdik pandai, ketika itu Prof Dr Widjojo Nitisastro sebagai suhunya (Ketua Bappenas), Prof Dr Mohamad Sadli (Ketua BKPM), Prof Dr Aliwardhana (Menteri Keuangan), Prof Dr Subroto, Prof Dr Emil Salim, Prof Dr Frans Seda, Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo, Drs Radius Prawiro (Gubernur BI), Prof JB Sumarlin. Mereka inilah peletak dasar pembangunan Indonesia model Orba. Mafia ini menjalin kerjasama sangat erat dengan pihak militer sejak 1957 lewat Seskoad di Bandung, tempat Suharto pernah menimba ilmu.
Pada akhir 1967 sejumlah anggota Mafia Berkeley yang dipimpin sang suhu mengadakan konferensi dengan sejumlah tokoh dunia kaum industrialis dan bankir dari perbankan raksasa negeri-negeri kapitalis di Geneva. Konferensi inilah yang meletakkan dasar pembangunan Indonesia dengan cara utang dan pembelian teknologi dari negeri-negeri kapitalis serta penanaman modal asing. Menurut mereka hanya melalui pasar bebas, hanya dengan cara mengintegrasikan diri ke dalam kapitalisme global, bangsa Indonesia bisa maju sejajar dengan bangsa maju lainnya. Sejak itulah jerat telah dipasang pada leher ekonomi rakyat Indonesia yang belum lepas sampai saat ini.
Pertama-tama pembangunan dibiayai dengan utang serta memanggil modal asing beserta teknologi mereka dengan syarat ringan bagi keuntungan mereka. Dikatakan pembangunan akan memperbesar kue kemakmuran. Mereka menguar-uarkan apa yang mereka sebut trickle down effect, bahwa kue kemakmuran dari pembangunan itu pertama-tama dinikmati oleh satu lapisan di atas yang kemudian setelah cukup besar akan menetes ke bawah kian deras dan kue itu akhirnya dapat dinikmati seluruh rakyat, dan hilanglah kemiskinan. Betapa indah menghibur!
Dalam kenyataan tak lain daripada propaganda omong kosong kaum kapitalis raksasa dunia dan lokal yang tumbuh berkomplot dengan kaum birokrat menggerogoti negeri untuk kemakmuran mereka sendiri. Pembangunan dibiayai oleh utang yang kian membesar dan mencekek, kaum kreditor kian mendiktekan kehendaknya, hanya lapisan atas kekuasaan dan begundalnya yang menikmati. Pada 1984/1985 keadaan utang menjadi serius karena besarnya utang yang diterima lebih besar dari cicilan utang beserta bunganya atau disebut transfer negatif bersih. Cicilan dan bunganya dibiayai dengan utang baru. Ketika Suharto jatuh ia meninggalkan utang luar negeri sebesar 54 miliar dollar AS, melompat lagi di masa Habibie menjadi 77 miliar dollar AS. Belum lagi utang dalam negeri kepada kaum kaya dan kaum koruptor lewat BLBI. Sementara itu sang rezim menjarah setidaknya 30 % barang utangan itu untuk kepentingan dirinya sendiri di samping korupsi transnasional bersama penanam modal. Dengan basis demikian inilah ekonomi dan pembangunan Indonesia berpijak.
Berdasarkan penelitian ekonom kritis Sritua Arief, nilai kumulatif investasi asing ke Indonesia 1973-1990 senila 5,775 miliar dollar AS. Sedang transfer keuntungan yang direpatriasi sebesar 58,859 miliar dollar AS. Ini berarti setiap dollar AS yang ditanam menghasilkan 10,19 dollar AS! Angka yang keras kepala ini tak lain daripada sistem ekonomi penjarahan. Penanaman modal model inilah yang digembar-gemborkan oleh kaum mafia ini sampai saat ini. Data demikian bukan sesuatu yang baru. Seperti diakui oleh Departemen Keuangan AS, setiap dollar yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu dari kontrak-kontrak yang dibiayai dengan utang tersebut. Hal yang sama terjadi dengan perusahaan-perusahaan Jepang yang menangguk keuntungan besar dan berkembang dari proyek-proyek utang Indonesia yang dikerjakannya.
Pendeknya utang itu alat penghisapan bagi negeri kapitalis kaya terhadap dunia ketiga yang tak pernah dapat beranjak dari ketergantungan dan kemiskinan yang terus membelit melingkar-lingkar tanpa putus alias proses pemiskinan terus-menerus. Di pihak lain mereka berkolusi dengan penguasa militer dan sipil yang terus-menerus membesarkan pundi-pundinya sendiri bersama kaum hitam yang berkembang menjadi konglomerat, sementara sebarisan militer dan sipil menjadi konglomerat dadakan yang di jaman dulu disebut kaum kapitalis birokrat. Ketika krisis melanda Asia dan Indonesia pada 1997, maka pembangunan istana pasirmenjadi porak poranda yang utamanya harus ditanggung oleh lebih dari 100 juta rakyat miskin.Ketika rakyat dan kaum menengah marah, maka jatuhlah diktator Suharto. Suharto jatuhtetapi Kerajaan Cendana beserta begundal sipil dan militernya tetap berjaya.
"Dalam rumus Mafia Berkeley, tidak ada perspektif kemandirian ekonomi dan nasionalisme Indonesia. Bagi mereka, yang penting indikator makro terjaga serta ekonomi dan investasi tumbuh. Mereka tak peduli apakah perekonomian itu digarap oleh asing atau negara lain," demikian papar Revrisond Bawasir, hal yang amat riskan terhadap fundamental ekonomi nasional. Rakyat tidak punya peran dalam ekonomi makro itu, rakyat tidak diberdayakan, akibatnya kaum kapitalis global itu dengan mudahnya menggoyang ekonomi jika hal itu mereka perlukan seperti terbukti ketika krisis melanda yang dampaknya masih kita rasakan.
Ketika orang memperingati ulang tahun ke 70 Sang Suhu dengan apa yang disebut Widjojonomics, maka dikumpulkanlah 124 catatan dan artikel kaum pakar dalam dan luar negeri dalam buku 910 halaman. Seperti ditulis Revrisond Bawasir, alih-alih mengungkapkan tanda-tanda akan terjadinya krisis ekonomi, sebagian besar catatan dan artikel yang ditulis oleh para ekonom senior itu justru asyik berbicara mengenai prestasi dan keajaiban ekonomi Indonesia. Bertolak dari kecerobohan akademik para penyumbang tulisan, bagaimana mungkin kita dapat mempercayai kredibilitas pemikiran ekonomi mereka? Apa kalian sekedar mengacu pada kepentingan dan kantong kalian sendiri? Inilah contoh perselingkuhan dalam ilmu sosial. Maka tak aneh jika kegiatan ilmiah komersial sehubungan dengan jajak pendapat publik seputar pilpres dan pilkada dicurigai sebagai pesanan kelompok tertentu untuk keuntungan sang pemesan belaka.
Komplotan di atas diakui dan dipaparkan oleh seorang pakar yang pernah menjabat konsultan Bank Dunia dan intelijen AS, John Perkins dalam bukunya yang tersohor Conferssions of an Economic Hit Man (2004, edisi Indonesia 2005) dalam pertobatan pribadinya, yang adalah seorang bandit ekonomi. Ia telah menyusun dasar-dasar pola pembangunan dunia ketiga termasuk Indonesia Orba [1970-an]. Rangkaian upayanya tersebut meliputi laporan keuangan yang menyesatkan yang bertemali dengan pemilihan [umum] curang, penyuapan, pemerasan, seks, bahkan pembunuhan [terhadap mereka yang membahayakan kepentingan kaum modal dan pemerintah AS]! Ia berikan contoh matinya Presiden Ekuador dan Panama dalam kecelakaan. Kini bukan rahasia lagi dijatuhkan [kemudian dibunuhnya secara perlahan] Presiden Sukarno di antaranya dengan campurtangan kental AS. Konsep dasar mereka yakni bagaimana membuat pembangunan dunia ketiga tergantung pinjaman bank-bank raksasa internasional serta penanaman modal korporasi dunia yang terus-menerus tanpa putus dalam kerangka sistem neoliberalisme alias neokolonialisme.
Sebagai ditulis tajuk Kompas (16 Juni 2009) “Bukan rahasia lagi, pada utang luar negeri melekat persyaratan-persyaratan yang didiktekan kreditor untuk kepentingan mereka. Kita punya sejarah panjang “dijajah” karena utang, mulai dari IGGI, CGI, dan terakhir IMF.” Kata “dijajah” dengan tanda petik, tapi dapat kita amati realitasnya dalam kehidupan rakyat kecil ketika berbagai subsidi [“subsidi”, kata tinggi hati dari sang rezim, seolah rakyat bukan pemilik kekayaan negeri ini] harus dikurangi atau dicabut berdasar konsep kapitalisme. IMF bukanlah instansi terakhir yang mendiktekan persyaratan.
Keadaan semacam itu telah dan sedang didobrak oleh Presiden Hugo Chavez dari Venezuela dan Presiden Evo Morales dari Bolivia. Apakah Hugo dan Evo akan berhasil, sejarah yang akan menjawabnya. Tetapi setidaknya mereka berupaya lepas dari jerat neoliberalisme sebagai yang diuraikan John Perkins yang telah 40 tahun kita alami. Sementara itu rezim Indonesia tetap bersikukuh dengan konsep dasar Mafia Berkeley yang jauh dari pemberdayaan rakyat, meski sudah terbukti gagal total. Kaum intelektual Mafia Berkeley tetap mengenakan kacamata kuda dengan visi pendek kapitalisme cangkokan Amerika. Mereka tidak sudi menengok sejarah panjang peradaban manusia dengan berupaya memberdayakan potensi rakyat luas beserta kekayaan negeri yang tidak kecil, misalnya dalam bentuk koperasi.
Selanjutnya di dunia ketiga terjadi komplotan antara penguasa dan pengusaha alias kolusi. Sebagai ditulis ekonom Faisal Basri (Mei 2010), “Indonesia akan kembali terjerembab ke dalam cengkeraman dwifungsi yang lebih bengis daripada dwifungsi militer Orba, bernama dwifungsi pengusaha-penguasa,”. Mau contohnya? Lumpur Lapindo, perpajakan sejumlah konglomerat, sejumlah undang-undang dan ketentuan anti-petani dan anti-nelayan, anti-rakyat kecil.
source: http://www.facebook.com/people/Teguh-Setiawan/1494252973
prinsip yang dianut sistem ekonomi kapitalis adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan melakukan berbagai cara, termasuk cara yang tidak halal sekalipun. .
ReplyDeletedengan menganut sistem ekonomi kapitalis maka yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. .
ya memang itu resiko hidup di negara dunia ketiga, persoalannya kita itu dimiskinkan oleh penguasa, bukan pemimpin.
Delete