Kamis 3 November 2011 kemarin, saya mengikuti proses pembuatan e-ktp di kelurahan dekat kediaman saya. Awalnya saya tidak begitu tertarik membuat e-ktp, karena satu dan lain hal. Tapi karena saya warga negara yang baik, dengan terpaksa saya harus mengikuti proses pembuatan e-ktp dengan mengantri dan saya dapat nomor antrian ke-329. Sedangkan saat saya datang, baru nomor antrian ke-87. Entah sistem pelaksanaannya yang buruk atau memang banyaknya warga Jakarta sehingga hari itu kelurahan dipenuhi oleh orang-orang yang ingin membuat e-ktp juga. Sambil menanti antrian, saya yang saat itu ditemani ayah saya memerhatikan proses kerja petugas e-ktp tersebut. Yang membuat aneh, dari ratusan orang yang mengantri, hanya ada dua petugas yang menanganinya. Dua orang petugas ini terlihat sangat sibuk mengurusi data kependudukan masyarakat , dari mulai sidik jari, foto, sampai scan iris mata.
Akhirnya kami memutuskan untuk jalan-jalan kesekeliling kelurahan, di taman belakang, kami bertemu dengan pak Fauzi, selaku Kasudin Bagian Kependudukan Jakarta Barat. Ayah saya kebetulan kenal baik dengannya, dan kami pun ngobrol-ngobrol dengan santai sambil menanyakan konsep e-ktp itu sendiri. Ia menjelaskan bahwa e-ktp ini adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan/pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. Yang artinya, data kita secara personal masuk ke dalam database negara untuk memudahkan dalam membuat paspor, SIM, dan sebagainya. Dan autentikasi e-ktp ini menggunakan pengenalan karakteristik fisik, antara lain sidik jari, dan retina mata. Saya pikir ini adalah suatu sistem pengendalian masyarakat dalam suatu negara yang sudah terlalu jauh melampaui hak-hak individu seseorang. Lalu beliau juga bercerita mengenai keluhan-keluhan proses pembuatan e-ktp, dari segi waktu, peralatan, dan petugas. Beliau bercerita, di Jerman dengan jumlah penduduk kurang lebih sekitar 30 juta jiwa saja butuh lima tahun untuk menyelesaikan program e-ktp tersebut, Indonesia yang jumlah penduduknya ratusan juta jiwa hanya diberi waktu sekitar 100 hari untuk menyelesaikannya. Apalagi alat dan petugas sangat minim, sehingga mereka setiap hari harus kerja keras sampai malam dan negara tidak memberikan anggaran untuk makan kepada petugas, hanya diberi uang lembur yang satu jam hanya dihargai Rp. 7800,00,--.
Di tempat yang sama, di lantai tiga, rupanya ada persidangan OYK (Operasi Yustisi Kependudukan). Lalu saya bersama ayah dan pak Fauzi menuju lantai tiga, saya penasaran ingin melihat persidangan tersebut. Persidangan ini dihadiri oleh penduduk gelap yang tidak mempunyai identitas (baca: KTP), yang terjaring dalam razia kependudukan (Operasi Yustisi). Dan kebanyakan dari mereka berasal dari tempat wisata kulendir di Jakarta. Saya pikir, persidangan ini sangat formal, ternyata hanya persidangan tindak pidana ringan yang si pelanggar hanya diwajibkan membayar denda sebesar Rp.30.000,00,--.
(dan ini foto para pelanggar yang tidak mempunyai KTP)
(saat vonis hakim kepada si pelanggar dan diharuskan membayar denda sebesar Rp. 30.000,00--)
(foto si pelanggar membayar denda)
Hari itu dalam satu gedung kelurahan terdapat dua fenomena yang saya pikir suatu hal yang cukup bersebrangan. Di lantai bawah, ratusan orang mengantri untuk membuat e-ktp, namun di lantai atas ada persidangan untuk orang-orang yang tidak mempunyai identitas kependudukan.